摘要:Penghancuran pusaka budaya berupa bangunan bersejarah di Kota Medan disikapi secara berbeda oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Pemerintah Kota Medan menyetujui penghancuran tersebut untuk pembangunan antara lain pusat-pusat perbelanjaan dengan alasan terciptanya lapangan kerja sekaligus peningkatan pendapat asli daerah Kota Medan. Sebaliknya, masyarakat memperjuangkan kelestarian bangunan bersejarah sebagai bukti sejarah masyarakat Medan yang plural dan multikultural. Sebagai modal budaya, pusaka budaya tersebut memiliki potensi besar dalam mengantisipasi kecenderungan pariwisata global dan posmodern.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Format disain, pengumpulan data, dan strategi analisis datanya bersifat deskriptif-kualitatif. Sumber data terdiri atas data primer yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi partisipasi dan metode penelitian berganda sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumentasi. Hasil analisis disajikan secara informal melalui deskripsi induktif-analitik.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, dalam pembangunan Kota Medan, terdapat kekuatan pemerintah dan pengusaha/pemilik bangunan bersejarah yang mengorbankan pusaka budaya demi pendirian gedung-gedung bisnis modern, seperti pusat-pusat perbelanjaan. Sebagai akibatnya, Kota Medan mengalami komodifikasi yang mengancam pusaka budaya dan pengembangan pariwisata. Puluhan bangunan bersejarah yang sudah dihancurkan termasuk tiga yang dilindungi oleh Perda Nomor 6 Tahun 1988.Melalui diskursus kontra-hegemoniknya, masyarakat yang didukung oleh masyarakat sipil setempat, khususnya LSM seperti Badan Warisan Sumatra (BWS), di samping para intelektual dan media massa, melakukan perjuangan atas pelestarian pusaka budaya dan tuntutan terhadap hak azasi budayanya. Pelestarian pusaka budaya di Kota Medan adalah terkait kepentingan praksis emansipasi masyarakat dan sesuai dengan cita-cita kajian budaya, yaitu praksis dan emansipatoris.
关键词:Pusaka budaya, komodifikasi, hegemoni, diskursus, pengembangan pariwisata.