摘要:ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari sebuah pertanyaan bagaimana sejarah kesenian Janger yang sangat populer di Banyuwangi berkembang dengan pesat dan masih menjadi minat masyarakat dari tahun 1930’an sampai sekarang. Janger yang merupakan akulturasi dari Jawa, Bali dan Banyuwangi terus dilestarikan oleh para seniman pendukungnya. Janger identik dengan lakon Damarwulan-Minakjinggo pun menjadi perdebatan antara sejarah dan fiksi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa akulturasi dari seni Janger inilah yang menyebabkan kelestarian Janger Banyuwangi. Selain itu banyak dari seniman Banyuwangi yang menggantungkan hidupnya dari kesenian ini.
其他摘要:ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari sebuah pertanyaan bagaimana sejarah kesenian Janger yang sangat populer di Banyuwangi berkembang dengan pesat dan masih menjadi minat masyarakat dari tahun 1930’an sampai sekarang. Janger yang merupakan akulturasi dari Jawa, Bali dan Banyuwangi terus dilestarikan oleh para seniman pendukungnya. Janger identik dengan lakon Damarwulan-Minakjinggo pun menjadi perdebatan antara sejarah dan fiksi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa akulturasi dari seni Janger inilah yang menyebabkan kelestarian Janger Banyuwangi. Selain itu banyak dari seniman Banyuwangi yang menggantungkan hidupnya dari kesenian ini. Kata Kunci: Janger, Banyuwangi, Damarwulan-Minakjinggo, Akulturasi. ABSTRACT This research come from the question history of Janger which too popular in Banyuwangi and still exist since 1930st until now. Janger is tradisional drama which acculturation from Java, Bali and Bali. Janger identic with story about Damarwulan-Minakjinggo. This story stil argued fiction or non fiction. Thi research using historical method such as heuristic, critic, interpretation and historiography. Result from this research know that acculturation between Java, Bali and Banyuwangi which make them sustainable until now. And the other many artist depend on their life in this drama.