出版社:State College of Islamic Studies Pamekasan (STAIN Pamekasan)
摘要:Tulisan ini mengkaji tentang paradigma pembelajaran conditioning dalam perspektif pendidikan Islam. Metode yang digunakan deskriptis analisis,Kajian membuktikan beberapa kesimpulan: Pertama: bahwa paradigma teori belajar behavorisme hanya mempelajari psikologi empiris positif, yang menghilangkan makna jiwa dari tingkah laku. Sementara itu, teori belajar dalam Islam memandang makna jiwa dan tingkah laku menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kedua, kajian ini juga membuktikan bahwa teori belajar conditioning, teori belajar paling rendah dalam teori Ibn Miskawaih yakni hanya penguatan daya nafsu al-bahimiyyat, (jasmani) belum sampai daya al-ghadabiyyat dan yang tertinggi daya al-nathiqat.Ketiga, penelitian ini juga membuktikan teori belajar conditioning bukan hal yang baru, karena sudah ada Ibnu Sina menggunakan talqin suatu metode yang cara kerjanya berulang-ulang sampai mereka hafal dan menggunakan metode pembiasaan dalam proses pengajaran.Keempat, dalam Islam, belajar instrumen (alat) untuk mendapatkan pengalaman atau pengetahuan baru adalah akal dan hati. Akal (al-aql) berfungsi menjelaskan sesuatu lebih kepada ranah yang lebih umum dan praktis dan hanya mampu menjangkau hal-hal empiris, sedangkan hati (qalb) mampu memahami sesuatu secara lebih mendalam, baik hal-hal yang sifatnya fisik (empiris) maupun metafisik. akal mengelola informasi yang didapatkan melalui suatu proses, sedangkan hati menerima ilmu yang melalui suatu proses maupun ladunni. Katakunci: Pembelajaran, conditioning, pendidikan Islam.
其他摘要:Tulisan ini mengkaji tentang paradigma pembelajaran conditioning dalam perspektif pendidikan Islam. Metode yang digunakan deskriptis analisis,Kajian membuktikan beberapa kesimpulan: Pertama: bahwa paradigma teori belajar behavorisme hanya mempelajari psikologi empiris positif, yang menghilangkan makna jiwa dari tingkah laku. Sementara itu, teori belajar dalam Islam memandang makna jiwa dan tingkah laku menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kedua, kajian ini juga membuktikan bahwa teori belajar conditioning, teori belajar paling rendah dalam teori Ibn Miskawaih yakni hanya penguatan daya nafsu al-bahimiyyat, (jasmani) belum sampai daya al-ghadabiyyat dan yang tertinggi daya al-nathiqat.Ketiga, penelitian ini juga membuktikan teori belajar conditioning bukan hal yang baru, karena sudah ada Ibnu Sina menggunakan talqin suatu metode yang cara kerjanya berulang-ulang sampai mereka hafal dan menggunakan metode pembiasaan dalam proses pengajaran.Keempat, dalam Islam, belajar instrumen (alat) untuk mendapatkan pengalaman atau pengetahuan baru adalah akal dan hati. Akal (al-aql) berfungsi menjelaskan sesuatu lebih kepada ranah yang lebih umum dan praktis dan hanya mampu menjangkau hal-hal empiris, sedangkan hati (qalb) mampu memahami sesuatu secara lebih mendalam, baik hal-hal yang sifatnya fisik (empiris) maupun metafisik. akal mengelola informasi yang didapatkan melalui suatu proses, sedangkan hati menerima ilmu yang melalui suatu proses maupun ladunni. Katakunci: Pembelajaran, conditioning, pendidikan Islam