摘要:Dalam hukum kepailitan juga mengenal istilah perdamaian, perdamaian dalam hukum kepailitan ini merupakan salah satu cara untuk mengakhiri suatu proses kepailitan yang sedang berjalan. Artikel ini dikhususkan pada perdamaian setelah putusan pernyataan pailit, yaitu akan meneliti mengenai implementasi perdamaian di Pengadilan Niaga Jakarta dan meneliti faktor-faktor yang menjadi hambatan bagi para pihak untuk melaksanakan perdamaian. Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang telah selesai dilakukan, dengan metode yuridis normatif yang tidak hanya terbatas pada penelitan kepustakaan akan tetapi juga memerlukan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer. Data primer diperoleh dari Pengadilan Niaga Jakarta dengan cara wawancara terhadap hakim niaga. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan meneliti bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Berdasarkan hasil penelitian lapangan didapatkan data bahwa mekanisme perdamaian ini jarang sekali dimanfaatkan oleh para pihak, sepanjang Pengadilan Niaga Jakarta berdiri hanya terdapat 2 (dua) perjanjian perdamaian yang disahkan. Hambatan-hambatan yang terjadi dalam praktik sehingga perdamaian tidak dapat dicapai oleh kedua belah pihak di Pengadilan Niaga Jakarta terdiri dari beberapa faktor seperti tidak adanya peran dari hakim dan lembaga, tidak adanya kewajiban untuk berdamai, faktor para pihak (SDM) yang mencapai kesepakatan, adanya prosedur dan mekanisme tertentu, hasil perjanjian perdamaian yang kurang memberikan akibat hukum sehingga memberikan peluang besar bagi Debitur untuk melanggar kesepakatan yang telah disetujui bersama merupakan kendala yang terjadi dalam praktik sehingga perdamaian akan sulit tercapai dan dimanfaatkan para pihak sebagai suatu prosedur beracara dalam menyelesaikan perkara pailit.
其他摘要:In bankruptcy law also known terms of peace, peace in bankruptcy law is one way to
end an ongoing bankruptcy process. This article aims to know devoted to peace after
the verdict of bankruptcy declaration, which will examine the implementation of
peace in the Commercial Court of Jakarta and examine the factors that become
obstacles for the parties to implement peace. This article is part of the research that
has been done, with the normative juridical method that is not only limited to the
research of the library but also require field research to obtain the primary data.
Primary data were obtained from the Jakarta Commercial Court by interviewing
commercial judges. Secondary data were obtained from library research by
examining primary, secondary, and tertiary legal materials. Based on the results of
field research, it is found that the mechanism of peace is rarely used by the parties, as
long as the Commercial Court of Jakarta stands only 2 (two) signed peace treaties.
The barriers that occur in practice so that peace can not be achieved by both parties
in the Jakarta Commercial Court consists of several factors such as the absence of
roles of judges and institutions, the absence of obligation to reconcile, the factors of
the parties (HR) to reach an agreement, the existence procedures and mechanisms,
the result of a peace agreement that gives less legal effect, thus providing a great
opportunity for the debtor to violate a mutually agreed agreement is a constraint in
practice so that peace will be difficult to achieve and utilized by the parties as a
procedural procedure in solving the bankruptcy case.