摘要:Implikasi adanya putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga adalah debitor sebagai pemilik boedel pailit tidak bisa mengoperasionalkan serta mengakses hartanya. Permasalahan selanjutnya muncul ketika pada saat yang bersamaan sita umum kepalitan atas asset debitor dimaksud, juga telah/akan dibebani sita pidana. Artikel ini bertujuan untuk membahas kewenangan kurator dalam mengelola dan membereskan asset boedel pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) dan hak kurator untuk mengajukan praperadilan terhadap boedel kepailitan yang diletakkan sita pidana ditinjau dari kepastian hukum. Penulisan artikel ini bersifat penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan konseptual dan peraturan perundang undangan agar dapat menggambarkan konsep yang dibahas yang dikaji secara normatif dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan terkait. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kurator dalam pelaksanaan pemberesan dan/atau pengurusan boedel pailit dapat dimintakan pertanggungjawaban dengan syarat terdapat kesalahan atau kelalaian. Sebagai implikasinya, kurator dapat bertanggung jawab secara pribadi dengan alasan “merugikan” kepentingan hukum para kreditur. Dalam praktiknya, kurator dituntut reaktif dan responsif dalam mengambil tindakan, sedangkan UU Kepailitan sendiri tidak memberikan kesempatan untuk melakukan kewenangannya secara diskresif terhadap kondisi boedel pailit yang telah/akan diletakan sita pidana. Demi terwujudnya kepastian hukum, berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf b dan Pasal 82 ayat (3) Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka kurator dapat mengajukan gugatan praperadilan untuk menguji untuk menguji keabsahan tindakan penyidik atau penuntut umum yang tidak meminta persetujuan hakim pengawas dalam melakukan suatu penyitaan demi membatalkan kedudukan sita pidana atas boedel pailit.